Jumat, 30 November 2012

Karena Setiap Orang Bisa Menjadi Baik


Setelah dua bulan lebih, buletin kita tercinta tidak menjumpai para pembaca sekalian, alhamdulillah berkat taufiq dan kemudahan dari Allah I, kali ini kami kembali hadir menyajikan kajian ilmu dinul Islam, warisan nabi kita yang mulia, Muhammad r.
 Semoga kehadirannya dapat menyegarkan dan menambah khazanah keilmuan kita. Dan yang pasti, semoga dapat mengobati kerinduan para pembaca sekalian. Ya, semoga saja!



Tidak semua manusia dipilih oleh Allah untuk kembali ke jalan yang lurus dan mengenal manhaj yang benar. Tidak semua orang dipilih dan dimudahkan oleh Alah untuk memahami agama ini dengan pehamaman yang benar sesuai dengan apa yang dipahami oleh Rasulullah r dan para sahabatnya. Tidak semua. Karena masih saja, sampai hari ini kita dapati sebagian kaum muslimin masih merasa nyaman dengan kekeliruannya, kesesatannya dan kebodohannya.
Maka saat Allah menuntun hidup kita untuk berjalan, berbuat, bekerja, berpikir, dan berbicara sesuai dengan manhaj salaf (pendahulu) yang shalih, itu berarti ada nikmat yang tak terkira besarnya yang harus kita syukuri. Ya, karena sadar atau tidak, sebenarnya kita telah menjadi pilihan-pilihan Allah di bumi.
Di saat banyak saudara-saudari muslim kita yang sadar untuk memperjuangkan Islam dengan manhaj dan metode apa saja, kita disadarkan oleh Allah bahwa “generasi akhir ummat ini tidak akan menjadi generasi yang shaleh dan jaya kecuali dengan jalan yang ditempuh oleh generasi awalnya” (La yashluhu akhiru hadzihil ummah illa bima shaluha bihi awwaluha). Demikian kata hikmah dari ulama kita. Kita pun berupaya untuk bergerak dan memperjuangkan agama ini sesuai kapasitas kita, tidak menyimpang dari dasar dan pijakan para generasi awal Islam, para sahabat, tab’in, atba’ at-tabi’in dan ulama yang mengikuti mereka.
Dampaknya, kita pun merasakan keizzahan (kemuliaan) yang luar biasa dahsyatnya dalam diri kita. Kita bangga berpenampilan sebagai salah seorang ikhwan atau aktivis Islam, dengan ciri dan karakteristik lahiriyah yang shaleh. Memelihara sunnah dalam berpakaian, memelihara syiar dan ibadah-ibadah mahdhah dan sunnah lainnya. Kita juga merasa mulia saat mewujud sebagai salah satu bagian dari komunitas akhawat, juga dengan ciri dan karakteristik lahiriyah yang shalehah. Menjaga aurat dengan pakaian muslimah yang sempurna, menjaga pergaulan terhadap para lelaki bukan mahramnya dan lainnya.
 Salahkah? Sampai di sini mungkin tidak ada masalah. Bahkan semoga hal tersebut menjadi alamat kebaikan buat kita di sisi Allah.
Hanya saja, seringkali keizzahan itu melanggar batas-batas yang semestinya. Keizzahan itu seringkali menyeret kita menjadi merasa shaleh sendiri dan memandang rendah orang lain yang berada di luar komunitas keshalehan kita. Mungkin tidak terungkapkan dengan kata-kata, tapi ia bersembunyi dalam gerakan-gerakan hati kita. Bahkan lebih parah lagi, obsesi keshalehan kita yang begitu tinggi membuat kita memandang orang lain “yang belum shaleh” sebagai makhluk-makhluk yang sudah tidak punya harapan lagi. Makhluk yang pantas menjadi gelap karena dosa dan kemaksiatannya.
Kita sering menjadi “buta” tiba-tiba hingga tidak lagi melihat ada celah buat mereka untuk kembali. Kita lupa, bahwa setiap orang sesungguhnya punya setitik kebaikan itu dalam dirinya. Kita lupa bahwa setiap orang sesungguhnya punya asa untuk mewujud sebagai orang yang baik, karena celah itu selalu ada untuk dilalui berkas cahaya.
*********
Terdapat sebuah kisah yang sungguh dapat menggugah kita tentang hal ini. Sebuah kisah yang benar-benar menampar kesombongan kita yang bersembunyi di balik keshalehan lahiriah kita. Kisah ini sendiri adalah kisah nyata yang dialami oleh seorang ulama Ahlussunnah, Syekh Ahmad bin Abdurrahman Ash-Shuwayyan, yang diungkapnya dalam buku berjudul Fi al-Bina’ al-Da’wy. Biarlah beliau sendiri yang mengisahkannya…
*********
Hari itu saya kembali dari sebuah perjalanan yang panjang. Dan di pesawat, Allah menakdirkan saya untuk duduk di samping sekelompok pemuda yang nampaknya senang sekali berfoya-foya dan berhura-hura. Tawa mereka sangat keras. Dan kegaduhan mereka pun semakin lama semakin menjadi-jadi. Kabin pesawat pun dengan cepat menjadi ruangan yang dipenuhi asap rokok mereka. Dan tampaknya sudah menjadi hikmah Allah bahwa pesawat itu benar-benar penuh, hingga tidak memungkinkan bagi saya untuk mencari tempat duduk lain.
Saya berusaha keras untuk lari dari ‘kesempitan’ ini dengan tidur. Tapi, mustahil dan sangat mustahil saya bisa tidur dalam suasana seperti itu. Maka ketika kegaduhan itu semakin membuat kejengkelan saya memuncak, saya pun mengeluarkan mushaf al-Qur’an, lalu membacanya dengan suara yang rendah. Ternyata, tidak lama kemudian sebagian dari anak-anak muda itupun mulai tenang. Sementara sebagian yang lain mulai membaca surat kabar, dan adapula yang mulai tidur dengan lelap.
Namun, tiba-tiba, salah seorang dari mereka berbicara dengan suara keras –dan ia duduk tepat di samping saya!- : “Cukup!…Cukup!”
Saya menduga suara saya terlalu keras hingga mengganggunya. Saya meminta maaf padanya. Saya pun kembali melanjutkan bacaan saya dengan suara yang membisik hingga hanya saya sendirilah yang mendengarnya. Tapi saya lihat ia menutupi kepalanya dengan kedua tangannya. Duduknya gelisah. Tidak pernah diam dan terus bergerak. Hingga ia kemudian mengangkat kepalanya dan berkata dengan penuh emosi  : “Tolong! Cukuplah sudah! Cukup! Saya sudah tidak bisa bersabar lagi!”
Ia kemudian berdiri dari tempat duduknya, lalu menghilang selama beberapa lama. Tidak lama kemudian ia kembali lagi, mengucapkan salam kepada saya sembari meminta maaf. Ia terdiam. Dan saya tidak tahu apa sebenarnya yang telah terjadi. Tapi sejenak kemudian ia menoleh pada saya, dan matanya basah oleh air mata. Ia berkata sambil berbisik: “Tiga tahun lamanya, bahkan lebih… Aku tak pernah meletakkan keningku di tanah…Aku tak pernah membaca satu ayat pun! Dan…satu bulan penuh ini aku habiskan dalam perjalanan ini… tidak satupun kemaksiatan yang tidak kukerjakan. Hingga aku pun melihatmu membaca al-Qur’an…Tiba-tiba saja dunia menjadi gelap di hadapanku…dadaku sesak…Aku merasa seperti tercekik. Iya, aku merasakan setiap ayat yang engkau baca menhantam tubuhku bagai cambuk..! Aku berkata pada diriku sendiri : Sampai kapan kelalaian ini?! Kemana aku akan berjalan di jalan ini?! Lalu apa setelah semua kelalaian dan kesenangan ini?! Hingga aku pun segera lari ke kamar kecil. Anda tahu kenapa?! Karena aku merasa sangat ingin menangis. Dan aku tidak menemukan tempat sembunyi dari pandangan orang lain selain di tempat itu!!”
Demikian ia berbicara padaku…Aku pun menyampaikan kalimat-kalimat seputar taubat dan kembali pada Allah…Dan ia pun terdiam.
Ketika pesawat mendarat di bumi, pemuda itu menghentikanku. Nampak sekali ia ingin menjauh dari teman-temannya. Ia bertanya padaku, dan wajahnya menampakkan air muka yang sangat serius: “Menurut Anda, apakah Allah masih berkenan menerima taubatku?”
Aku berkata padanya : “Jika engkau jujur dan sungguh-sungguh ingin kembali pada Allah, maka Allah akan mengampuni dosa apapun.” “Tapi aku telah melakukan terlalu banyak dosa…dosa-dosa yang begitu besar…,” ujarnya.
“Apakah engkau pernah mendengar firman Allah: “Katakanlah: Wahai hamba-hambaKu yang telah melampaui batas atas diri mereka, janganlah kalian putus asa akan rahmat Allah, sesungguhnya Allah akan mengampuni semua dosa. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Pengasih.” (QS. Az-Zumar:53)?” ujarku.
Kulihat wajahnya tersenyum penuh kebahagiaan. Kedua matanya berkaca dipenuhi air mata. Ia lalu mengucapkan selamat tinggal, dan pergi berlalu…
*********
Maha suci Allah yang Maha Agung!
Begitulah manusia. Sejauh dan setinggi apapun kedurhakaan yang telah ia lalui, tapi selalu saja ada celah kebaikan dalam jiwanya. Andai saja kita dapat berusaha sampai ke sana, lalu menyianginya dengan cinta, ia akan tumbuh dengan izin Allah. Karena setiap kita lahir di atas fitrah.
Akhirnya wahai saudara – saudariku …
Kisah ini seharusnya membuat kita sadar untuk segera mereview kembali rasa izzah akan keikhwanan dan keakhawatan kita. Melihat kembali kebanggaan dan rasa kemuliaan kita setelah Alah memberikan hidayahNya. Jika tidak, bisa jadi saat izzah itu menjelma menjadi kesombongan. Jika itu yang terjadi mak ia tidak lagi perlu dibanggakan. Kebanggaan semacam itu hanya membuat kita meremehkan manusia lain, yang boleh jadi saat hidayah Allah bersemayam di hatinya, ia akan menjejakkan kakinya di surga terlebih dulu dibanding kita. “Izzah” seperti itu hanya akan menyebabkan kita menjadi penghalang manusia untuk meraih hidayah Allah. Wallahul musta’an.
*) Diambil dan disadur dengan perubahan dari redaksi dari tulisan : “Karena Setiap Orang Menyimpan Setitik Kebaikan Dalam Jiwanya”, Oleh Muhammad Ihsan Zainuddin, Lc., M.Si.
www.al-munir.com

0 komentar:

Posting Komentar