Setelah dua bulan
lebih, buletin kita tercinta tidak menjumpai para pembaca sekalian,
alhamdulillah berkat taufiq dan kemudahan dari Allah I, kali ini kami kembali hadir menyajikan kajian ilmu dinul Islam, warisan nabi kita yang mulia, Muhammad r.
Semoga
kehadirannya dapat menyegarkan dan menambah khazanah keilmuan kita. Dan
yang pasti, semoga dapat mengobati kerinduan para pembaca sekalian. Ya,
semoga saja!
Tidak semua manusia dipilih oleh Allah
untuk kembali ke jalan yang lurus dan mengenal manhaj yang benar. Tidak
semua orang dipilih dan dimudahkan oleh Alah untuk memahami agama ini
dengan pehamaman yang benar sesuai dengan apa yang dipahami oleh
Rasulullah r dan para sahabatnya. Tidak semua. Karena masih saja, sampai
hari ini kita dapati sebagian kaum muslimin masih merasa nyaman dengan
kekeliruannya, kesesatannya dan kebodohannya.
Maka saat Allah menuntun hidup kita
untuk berjalan, berbuat, bekerja, berpikir, dan berbicara sesuai dengan
manhaj salaf (pendahulu) yang shalih, itu berarti ada nikmat yang tak
terkira besarnya yang harus kita syukuri. Ya, karena sadar atau tidak,
sebenarnya kita telah menjadi pilihan-pilihan Allah di bumi.
Di saat banyak saudara-saudari muslim
kita yang sadar untuk memperjuangkan Islam dengan manhaj dan metode apa
saja, kita disadarkan oleh Allah bahwa “generasi akhir ummat ini tidak
akan menjadi generasi yang shaleh dan jaya kecuali dengan jalan yang
ditempuh oleh generasi awalnya” (La yashluhu akhiru hadzihil ummah illa bima shaluha bihi awwaluha).
Demikian kata hikmah dari ulama kita. Kita pun berupaya untuk bergerak
dan memperjuangkan agama ini sesuai kapasitas kita, tidak menyimpang
dari dasar dan pijakan para generasi awal Islam, para sahabat, tab’in,
atba’ at-tabi’in dan ulama yang mengikuti mereka.
Dampaknya, kita pun merasakan keizzahan (kemuliaan) yang luar biasa dahsyatnya dalam diri kita. Kita bangga berpenampilan sebagai salah seorang ikhwan atau aktivis Islam, dengan ciri dan karakteristik lahiriyah yang shaleh. Memelihara sunnah dalam berpakaian, memelihara syiar dan ibadah-ibadah mahdhah dan sunnah lainnya. Kita juga merasa mulia saat mewujud sebagai salah satu bagian dari komunitas akhawat, juga
dengan ciri dan karakteristik lahiriyah yang shalehah. Menjaga aurat
dengan pakaian muslimah yang sempurna, menjaga pergaulan terhadap para
lelaki bukan mahramnya dan lainnya.
Salahkah? Sampai di sini mungkin tidak ada masalah. Bahkan semoga hal tersebut menjadi alamat kebaikan buat kita di sisi Allah.
Hanya saja, seringkali keizzahan itu melanggar batas-batas yang semestinya. Keizzahan
itu seringkali menyeret kita menjadi merasa shaleh sendiri dan
memandang rendah orang lain yang berada di luar komunitas keshalehan
kita. Mungkin tidak terungkapkan dengan kata-kata, tapi ia bersembunyi
dalam gerakan-gerakan hati kita. Bahkan lebih parah lagi, obsesi
keshalehan kita yang begitu tinggi membuat kita memandang orang lain
“yang belum shaleh” sebagai makhluk-makhluk yang sudah tidak punya
harapan lagi. Makhluk yang pantas menjadi gelap karena dosa dan
kemaksiatannya.
Kita sering menjadi “buta” tiba-tiba
hingga tidak lagi melihat ada celah buat mereka untuk kembali. Kita
lupa, bahwa setiap orang sesungguhnya punya setitik kebaikan itu dalam
dirinya. Kita lupa bahwa setiap orang sesungguhnya punya asa untuk
mewujud sebagai orang yang baik, karena celah itu selalu ada untuk
dilalui berkas cahaya.
*********
Terdapat sebuah kisah yang sungguh dapat
menggugah kita tentang hal ini. Sebuah kisah yang benar-benar menampar
kesombongan kita yang bersembunyi di balik keshalehan lahiriah kita.
Kisah ini sendiri adalah kisah nyata yang dialami oleh seorang ulama
Ahlussunnah, Syekh Ahmad bin Abdurrahman Ash-Shuwayyan, yang diungkapnya
dalam buku berjudul Fi al-Bina’ al-Da’wy. Biarlah beliau sendiri yang mengisahkannya…
*********
Hari itu saya kembali dari sebuah
perjalanan yang panjang. Dan di pesawat, Allah menakdirkan saya untuk
duduk di samping sekelompok pemuda yang nampaknya senang sekali
berfoya-foya dan berhura-hura. Tawa mereka sangat keras. Dan kegaduhan
mereka pun semakin lama semakin menjadi-jadi. Kabin pesawat pun dengan
cepat menjadi ruangan yang dipenuhi asap rokok mereka. Dan tampaknya
sudah menjadi hikmah Allah bahwa pesawat itu benar-benar penuh, hingga
tidak memungkinkan bagi saya untuk mencari tempat duduk lain.
Saya berusaha keras untuk lari dari
‘kesempitan’ ini dengan tidur. Tapi, mustahil dan sangat mustahil saya
bisa tidur dalam suasana seperti itu. Maka ketika kegaduhan itu semakin
membuat kejengkelan saya memuncak, saya pun mengeluarkan mushaf
al-Qur’an, lalu membacanya dengan suara yang rendah. Ternyata, tidak
lama kemudian sebagian dari anak-anak muda itupun mulai tenang.
Sementara sebagian yang lain mulai membaca surat kabar, dan adapula yang
mulai tidur dengan lelap.
Namun, tiba-tiba, salah seorang dari mereka berbicara dengan suara keras –dan ia duduk tepat di samping saya!- : “Cukup!…Cukup!”
Saya menduga suara saya terlalu keras
hingga mengganggunya. Saya meminta maaf padanya. Saya pun kembali
melanjutkan bacaan saya dengan suara yang membisik hingga hanya saya
sendirilah yang mendengarnya. Tapi saya lihat ia menutupi kepalanya
dengan kedua tangannya. Duduknya gelisah. Tidak pernah diam dan terus
bergerak. Hingga ia kemudian mengangkat kepalanya dan berkata dengan
penuh emosi : “Tolong! Cukuplah sudah! Cukup! Saya sudah tidak bisa
bersabar lagi!”
Ia kemudian berdiri dari tempat
duduknya, lalu menghilang selama beberapa lama. Tidak lama kemudian ia
kembali lagi, mengucapkan salam kepada saya sembari meminta maaf. Ia
terdiam. Dan saya tidak tahu apa sebenarnya yang telah terjadi. Tapi
sejenak kemudian ia menoleh pada saya, dan matanya basah oleh air mata.
Ia berkata sambil berbisik: “Tiga tahun lamanya, bahkan lebih… Aku tak
pernah meletakkan keningku di tanah…Aku tak pernah membaca satu ayat
pun! Dan…satu bulan penuh ini aku habiskan dalam perjalanan ini… tidak
satupun kemaksiatan yang tidak kukerjakan. Hingga aku pun melihatmu
membaca al-Qur’an…Tiba-tiba saja dunia menjadi gelap di hadapanku…dadaku
sesak…Aku merasa seperti tercekik. Iya, aku merasakan setiap ayat yang
engkau baca menhantam tubuhku bagai cambuk..! Aku berkata pada diriku
sendiri : Sampai kapan kelalaian ini?! Kemana aku akan berjalan di jalan
ini?! Lalu apa setelah semua kelalaian dan kesenangan ini?! Hingga aku
pun segera lari ke kamar kecil. Anda tahu kenapa?! Karena aku merasa
sangat ingin menangis. Dan aku tidak menemukan tempat sembunyi dari
pandangan orang lain selain di tempat itu!!”
Demikian ia berbicara padaku…Aku pun menyampaikan kalimat-kalimat seputar taubat dan kembali pada Allah…Dan ia pun terdiam.
Ketika pesawat mendarat di bumi, pemuda
itu menghentikanku. Nampak sekali ia ingin menjauh dari teman-temannya.
Ia bertanya padaku, dan wajahnya menampakkan air muka yang sangat
serius: “Menurut Anda, apakah Allah masih berkenan menerima taubatku?”
Aku berkata padanya : “Jika engkau jujur
dan sungguh-sungguh ingin kembali pada Allah, maka Allah akan
mengampuni dosa apapun.” “Tapi aku telah melakukan terlalu banyak
dosa…dosa-dosa yang begitu besar…,” ujarnya.
“Apakah engkau pernah mendengar firman Allah: “Katakanlah:
Wahai hamba-hambaKu yang telah melampaui batas atas diri mereka,
janganlah kalian putus asa akan rahmat Allah, sesungguhnya Allah akan
mengampuni semua dosa. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Pengasih.” (QS. Az-Zumar:53)?” ujarku.
Kulihat wajahnya tersenyum penuh
kebahagiaan. Kedua matanya berkaca dipenuhi air mata. Ia lalu
mengucapkan selamat tinggal, dan pergi berlalu…
*********
Maha suci Allah yang Maha Agung!
Begitulah manusia. Sejauh dan setinggi
apapun kedurhakaan yang telah ia lalui, tapi selalu saja ada celah
kebaikan dalam jiwanya. Andai saja kita dapat berusaha sampai ke sana,
lalu menyianginya dengan cinta, ia akan tumbuh dengan izin Allah. Karena
setiap kita lahir di atas fitrah.
Akhirnya wahai saudara – saudariku …
Kisah ini seharusnya membuat kita sadar untuk segera mereview kembali rasa izzah akan keikhwanan dan keakhawatan kita. Melihat kembali kebanggaan dan rasa kemuliaan kita setelah Alah memberikan hidayahNya. Jika tidak, bisa jadi saat izzah itu
menjelma menjadi kesombongan. Jika itu yang terjadi mak ia tidak lagi
perlu dibanggakan. Kebanggaan semacam itu hanya membuat kita meremehkan
manusia lain, yang boleh jadi saat hidayah Allah bersemayam di hatinya,
ia akan menjejakkan kakinya di surga terlebih dulu dibanding kita. “Izzah” seperti itu hanya akan menyebabkan kita menjadi penghalang manusia untuk meraih hidayah Allah. Wallahul musta’an.
*) Diambil dan disadur dengan perubahan
dari redaksi dari tulisan : “Karena Setiap Orang Menyimpan Setitik
Kebaikan Dalam Jiwanya”, Oleh Muhammad Ihsan Zainuddin, Lc., M.Si.
www.al-munir.com
0 komentar:
Posting Komentar